Kampung Adat Cireundeu
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018, dijelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari teredianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Cimahi, sebuah kota yang terletak di tengah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Ternyata di kota ini terdapat sebuah kampung adat yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka, kampung ini adalah Kampung Adat Cireundeu yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Kata “Cireundeu” berasal dari kata “ci” yang berarti air dan “reundeu” yang berarti pohon. Tidak ada bukti otentik tentang asal usul Cirendeu. Diperkirakan abad 16–17 karena dulu para sesepuh Cirendeu membantu membangun fasilitas belanda di kota Cimahi seperti Rs Dustira, pusat garnisun, dan pusat pertahanan. Masyarakat adat Cirendeu merupakan masyarakat yang masih melaksanakan upacara-upacara adat. contoh : pernikahan, kelahiran, kematian, ngaregeun bumi (mendirikan bangunan, ngemban tahun (tutup tahun).
Masyarakat cireundeu ini “ngindung ka waktu mibapa ka jaman” yang artinya mengikuti perkembangan jaman tapi ada aturannya/ada saringannya (ada yang boleh/tidak boleh). Masyarakat Kampung Adat Cireundeu sangat menjaga nilai-nilai peninggalan leluhurnya dengan baik, salah satu implementasinya adalah dalam usaha mereka untuk menjamin ketahanan pangan mereka di masa mendatang. Bentuk upaya menjaga ketahanan pangan di kampung ini adalah adanya beras singkong (sanguen) sebagai pengganti beras padi. Singkong dijadikan makanan pokok bagi masyarakat Kampung Adat Cirendeu sejak tahun 1918 (Hasibuan, 2017). Masyarakat Kampung Adat Cirendeu mengolah singkong menjadi beras singkong yang selanjutnya disebut dengan rasi singkong. Mereka secara mandiri mengelola perkebunan singkong serta menggunakan hasil perkebunan tersebut untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Singkong dipanen setiap setahun sekali secara bertahap. Hampir setiap petani memiliki lebih dari 5 kebun singkong. Singkong yang dihasilkan bisa mencapai 1–5 ton untuk sekali panen sehingga ketersediaan singkong selalu terjamin. Setelah dipanen singkong akan diolah kemudian olahannya akan dijemur selama 2–3 hari untuk dijadikan beras. Beras singkong memiliki ketahanan hampir satu tahun lamanya dimana hampir sama dengan beras biasa. Karena singkong yang telah diolah akan dijemur sampai benar-benar kering dan disimpan diwadah yang tertutup. Dengan adanya beras singkong bukan berarti masyarakat di Cireundeu tidak memakan beras biasa. Masyarakat pendatang yang tinggal di Cireundeu masih makan beras biasa. Ada juga makanan pokok selain singkong seperti jagung dan umbi-umbian. Namun, untuk masyarakat asli hanya memakan beras singkong dan tidak makan beras biasa sama sekali.
Ketika kita berkunjung ke kampung ini, maka kita akan disuguhkan dengan pemandangan indah Gunung Salam. Jalur pendakian ke gunung ini juga bisa dimulai dari Kampung Adat Cireundeu. Namun, terdapat beberapa ketentuan tertentu yang harus kita pahami ketika ingin mendaki gunung tersebut salah satunya adalah tidak boleh menggunakan alas kaki. Bagaimana, menarik untuk dikunjungi bukan? Kini Kampung Adat Cireundeu membuka beberapa paket wisata edukasi yang menarik, kalian bisa cek di instagram @visitcireundeu. Kalian harus kesana dan wajib cobain rasi singkong, hehehe.